Kontroversi Alur Royalti Musik di Indonesia: Ini Penjelasan LMKN
LMKN Jelaskan Kontroversi Royalti Musik

Isu alur pengelolaan royalti lagu dan musik di Indonesia hingga kini masih menjadi topik hangat yang menimbulkan berbagai perdebatan. Banyak pihak, termasuk para musisi, produser, hingga pengguna komersial, terus memperjuangkan pandangan masing-masing terkait sistem yang berjalan.

Bagi kamu yang masih bingung dengan alur pengelolaan royalti di Indonesia, berikut penjelasan lengkapnya berdasarkan sistem yang berlaku saat ini.

Pada tahun 2014, pemerintah membentuk Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebagai badan yang bertugas menghimpun, menarik, mengelola, dan mendistribusikan hak ekonomi pencipta dan pemilik hak terkait atas lagu dan/atau musik. LMKN memiliki fungsi strategis sebagai koordinator utama dalam tata kelola royalti secara nasional.

Dalam menjalankan tugasnya, LMKN bekerja sama dengan sejumlah Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). LMK ini merupakan lembaga yang berhubungan langsung dengan para pencipta, pemilik hak cipta, dan pemilik hak terkait. Para pencipta atau musisi yang ingin memperoleh royalti perlu terlebih dahulu memberikan kuasa kepada LMK pilihan mereka.

Sebagaimana dijelaskan oleh Ketua LMKN, Dharma Oratmangun, proses distribusi royalti berjalan secara bertingkat:

“Dari pemberi kuasa (pemilik hak cipta) sudah memberikan kuasanya ke LMK, LMK berhimpun di LMKN, dan tugas LMKN adalah cari sebanyak-banyaknya dan bagi sebanyak-banyaknya,” jelasnya.

Setelah royalti dikumpulkan dari berbagai pihak pengguna (seperti penyelenggara konser, pemilik kafe, radio, TV, dan platform digital), LMKN akan mendistribusikannya melalui LMK kepada para pemilik hak.

Salah satu LMK yang cukup aktif dalam kegiatan distribusi adalah Wahana Musik Indonesia (WAMI). WAMI secara rutin melaporkan dan membagikan royalti kepada anggotanya tiga kali dalam setahun, yaitu pada bulan maret, Juli dan November.

Pada bulan Maret 2025, WAMI telah menyalurkan royalti kepada sejumlah musisi. Bahkan, mereka mempublikasikan nominal yang dibayarkan secara terbuka.
Salah satu contoh terbaru adalah pembayaran royalti susulan pada Juli 2025 kepada musisi ternama Melly Goeslaw, yang menerima sebesar Rp 4,9 juta.

Langkah transparan ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan para pemilik hak cipta terhadap sistem distribusi yang dijalankan oleh LMK dan LMKN.

Meski sistem sudah terbentuk, perdebatan masih berlangsung terutama mengenai efektivitas pengumpulan dan kejelasan distribusi. Beberapa isu yang sering muncul antara lain:

  • Kurangnya kesadaran dan kepatuhan pengguna komersial dalam membayar royalti.
  • Tumpang tindih kewenangan antara LMK dan pelaku direct licensing.
  • Transparansi distribusi, terutama bagi musisi yang belum tergabung dalam LMK tertentu.

Dengan dorongan reformasi dari LMKN, termasuk usulan penerapan sistem terpadu Satu Pintu, diharapkan proses pengumpulan hingga distribusi royalti akan menjadi lebih efektif, adil, dan transparan. Sistem ini akan mengintegrasikan proses perizinan dan lisensi dalam satu jalur agar royalti dapat terhimpun secara maksimal dari setiap penggunaan lagu dan musik di ruang publik maupun digital