Apa Itu LMKN? Lembaga Pengelola Royalti Musik Resmi di Indonesia
LMKN 2

Belakangan isu royalti musik kembali ramai dibicarakan, terutama setelah muncul polemik tarif untuk kafe, hotel, hingga tempat hiburan. Salah satu lembaga yang bertanggung jawab adalah Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), badan resmi yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Mekanisme kerja LMKN diperkuat dengan PP Nomor 56 Tahun 2021 dan Permenkumham Nomor 9 Tahun 2022, yang mengatur pemungutan hingga pendistribusian royalti musik secara nasional.

LMKN dan LMK, Bedanya Apa ?

Masyarakat sering bingung membedakan LMKN dan LMK.

  • LMK (Lembaga Manajemen Kolektif) adalah badan hukum nirlaba yang diberi kuasa langsung oleh pencipta atau pemegang hak untuk mengelola hak ekonominya.
  • LMKN bertindak sebagai koordinator yang menghimpun dan menyalurkan royalti dari berbagai pengguna musik.

Royalti dipungut dari berbagai kegiatan, antara lain:

  • Konser dan pertunjukan musik
  • Restoran, kafe, bar, pub, bistro, kelab malam, dan diskotek
  • Seminar atau konferensi komersial
  • Pemutaran musik di bioskop
  • Layanan transportasi (pesawat, bus, kereta, kapal laut)
  • Pameran, bazar, dan acara serupa

Dengan kata lain, jika sebuah usaha memutar musik untuk kepentingan komersial, maka wajib membayar royalti melalui LMKN.

Tiga Tahap Utama Pengelolaan Royalti

Sistem LMKN bekerja melalui tiga tahap besar:

  1. Penarikan Royalti – Memungut dari pengguna musik untuk disalurkan kepada pencipta dan pemegang hak.
  2. Penghimpunan Royalti – Dana disimpan di rekening LMKN, lalu dihitung dan dikoordinasikan untuk tiap LMK.
  3. Pendistribusian Royalti – Dibagikan kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait melalui LMK, berdasarkan data pemutaran lagu yang tercatat di Sistem Informasi Lagu/Musik (SILM).

LMKN juga berperan sebagai mediator jika ada perselisihan dalam pembagian royalti.

Kenapa Harus LMKN?

Tanpa LMKN, pencipta lagu harus menagih sendiri ke ratusan pengguna musik seperti kafe, EO, hingga stasiun TV—yang nyaris mustahil dilakukan. LMKN hadir untuk menyederhanakan proses, mengurangi biaya penagihan, serta memastikan pembayaran berlangsung legal dan transparan.

Keberadaan LMKN juga memudahkan pelaku usaha. Cukup mengurus izin melalui LMKN, maka penggunaan musik sudah dianggap sah dan tercatat.

Belajar daru Dunia Internasional

Sistem serupa juga berlaku di negara lain. Di Eropa, berbagai lembaga kolektif beroperasi dengan prinsip transparansi. Prancis, Jerman, Inggris, hingga Swedia memiliki regulasi ketat demi melindungi pencipta. Di Amerika Serikat, ada Harry Fox Agency dan berbagai badan lain yang mengurus hak pertunjukan maupun rekaman.

Indonesia sedang berusaha menuju standar serupa dengan LMKN sebagai pusat koordinasi. Tujuannya bukan sekadar memungut uang, tetapi menghargai kreativitas dan memastikan musisi hidup layak dari karyanya.

Peran LMKN memang kerap dianggap “sibuk mengejar royalti”, namun sesungguhnya langkah itu untuk keberlangsungan industri musik nasional. Transparansi, keadilan, dan pengawasan menjadi kunci agar lembaga ini benar-benar mewujudkan visi melindungi hak para Pencipta dan Pemilik Hak Terkait di Indonesia.